Tanah Porodisa: Warisan Suci di Ujung Negeri, Akankah Tetap Terjaga?

Kekudusan Tanah Porodisa

banner 120x600

Talaud, TELEGRAFNEWS.COM

Ada tanah yang tidak sekadar daratan, ada batas yang tidak hanya geografis, dan ada warisan yang bukan sekadar sejarah. Tanah Porodisa, nama yang melekat pada Kepulauan Talaud, adalah lebih dari sekadar wilayah di ujung utara Nusantara. Ia adalah perwujudan nilai, tempat di mana kesetiaan diuji, di mana kehormatan bukan hanya gelar, tetapi prinsip yang dijunjung tinggi.

Seorang sutradara teater dan penulis naskah pentas kolosal, almarhum Alex Vander Kley, pernah berkata, “Tanah Porodisa-Talaud laksana sepotong roti dari surga yang jatuh di ujung perbatasan utara Indonesia.” Kalimat ini bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan refleksi tentang anugerah dan tanggung jawab. Jika sebuah tanah telah diberikan kesucian, maka penduduknya berkewajiban untuk menjaga kekudusan itu—bukan hanya dengan ritual dan simbol, tetapi dengan tindakan nyata dalam kehidupan sosial, kebangsaan, dan kenegaraan.

Namun, bagaimana kekudusan itu diartikan dalam realitas kekinian? Bagaimana masyarakat menjaga bukan hanya batas wilayah, tetapi juga batas moral dan etika?

Kesetiaan di Ujung Perbatasan

Sejarah mencatat bahwa masyarakat Talaud bukan hanya penduduk di sebuah gugusan pulau kecil, tetapi penjaga gerbang utara negeri ini. Di tahun 1980-an, ketika mantan Wakil Presiden Try Sutrisno mendampingi Panglima ABRI Benny Moerdani ke Miangas, ia menyaksikan langsung keteguhan hati rakyat Talaud dalam menjaga keutuhan NKRI.

Dari generasi ke generasi, kesetiaan ini tidak lahir dari paksaan, melainkan dari kesadaran bahwa tanah ini adalah bagian dari identitas, bukan sekadar koordinat di peta. Tanah Porodisa adalah rumah, dan rumah harus dijaga bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan jiwa yang teguh.

Bagi Rimata Narande, Ketua IV DPP MUKAT (Musyawarah Masyarakat Talaud), masa depan Talaud bergantung pada bagaimana generasi mudanya memahami warisan ini. Namun, ia juga menyadari bahwa tantangan zaman telah berubah. Jika dahulu ancaman datang dari luar dalam bentuk penjajahan dan infiltrasi, kini tantangan datang dalam wujud yang lebih halus—pergeseran nilai, ketergantungan ekonomi, serta godaan pragmatisme yang dapat mengikis kebanggaan akan tanah kelahiran.

Tantangan: Menjaga yang Kudus, Menghadapi yang Tak Pasti

Kekudusan bukan hanya soal keindahan alam yang tetap lestari, bukan pula hanya soal ritual yang terus dilakukan. Kekudusan adalah bagaimana nilai-nilai luhur tetap hidup di tengah zaman yang berubah. Dan di sinilah tantangan nyata bagi Talaud hari ini:

1. Membuka lapangan kerja tanpa menggadaikan kemandirian
Pembangunan dan modernisasi adalah keharusan, tetapi bagaimana itu dilakukan tanpa mengorbankan jati diri? Bagaimana pertumbuhan ekonomi tidak menjadikan masyarakat hanya sebagai buruh di tanah sendiri, melainkan tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri?

2. Menjaga kepemimpinan yang bersih dan berintegritas
Kekudusan tanah juga tercermin dari cara pemimpinnya menjalankan amanah. Dalam konteks ini, Rimata menilai bahwa Pj. Bupati Fransiscus Manumpil telah berusaha menjaga keseimbangan antara pemerintahan, pembangunan, dan kehidupan sosial. Namun, pertanyaannya: bisakah keseimbangan ini terus dipertahankan, atau akan tergerus oleh dinamika politik yang tak terelakkan?

3. Menghadapi godaan politik pragmatis menjelang pemilu
Politik adalah keniscayaan dalam sistem pemerintahan, tetapi bagaimana masyarakat menyikapi dinamika politik tanpa kehilangan akal sehat? Rimata mengingatkan bahwa kesetiaan kepada tanah air tidak boleh dipermainkan oleh kepentingan jangka pendek. Siapapun yang nantinya memimpin, harus diingat bahwa kepemimpinan adalah tugas menjaga, bukan sekadar memenangkan kursi.

 

Tanah Porodisa: Cerminan Peradaban

Lebih dari sekadar batas wilayah, Talaud adalah cerminan peradaban. Apa yang terjadi di Talaud hari ini, akan menjadi penanda bagi generasi mendatang: apakah mereka akan mewarisi tanah yang tetap teguh dengan nilai-nilai luhur, atau tanah yang telah kehilangan jiwanya?

Kekudusan bukan sesuatu yang diwariskan begitu saja, tetapi sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Dan perjuangan itu tidak selalu dalam bentuk perlawanan fisik, tetapi juga dalam bagaimana masyarakat menjaga kesantunan, kejujuran, serta kemandirian dalam berpikir dan bertindak.

Seperti yang dikatakan Rimata Narande, “Jika ada masalah dalam keluarga, kita duduk bersama, bukan saling menjatuhkan.” Talaud adalah rumah bagi mereka yang mencintainya, dan rumah ini hanya akan tetap suci jika semua penghuninya bersepakat untuk menjaga, merawat, dan membangun dengan hati yang tulus.

Karena pada akhirnya, Tanah Porodisa bukan hanya tentang tanah di utara Nusantara, tetapi tentang seberapa jauh kita memahami arti menjaga warisan dan menata peradaban.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *