IMG-20250331-WA0005

Legal Tapi Ditahan: Suara Hati dari Balik Rompi Oranye

Kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut kepada Sinode GMIM memunculkan luka batin dan pertanyaan publik

banner 120x600

TELEGRAFNEWS–Pada malam yang berat itu, dua orang pria melangkah keluar dari ruang penyidik Tipikor Polda Sulawesi Utara. Tubuh mereka dibalut rompi oranye bertuliskan “Tahanan Polda Sulut.” Di wajah mereka, tak ada perlawanan, hanya sorot mata yang menahan beban. Salah satunya, saat ditanya wartawan, hanya berkata lirih: “Kata-kata hari ini? Semangat.”

Fereydy Kaligis dan Jeffry Korengkeng bukanlah nama asing di lingkungan birokrasi Sulut. Kaligis adalah Kepala Biro Kesra, sedangkan Korengkeng pernah menjabat sebagai Kepala Badan Keuangan Daerah. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah kepada Sinode GMIM tahun 2020 hingga 2023.

Tapi benarkah mereka korupsi? Atau mereka sedang menanggung beban dari sistem yang tak mampu membedakan antara kesalahan dan kejahatan?

Dibalik Tuduhan: Kebijakan yang Sah dan Dijalankan Sesuai Aturan

Masyarakat perlu tahu bahwa dana hibah kepada organisasi keagamaan bukanlah hal gelap. Dana tersebut diatur secara resmi dan terang dalam Peraturan Gubernur Sulut No. 39 Tahun 2017, yang dengan jelas menyebut Sinode GMIM sebagai salah satu penerima tetap hibah tahunan (Pasal 5 ayat 3 huruf i).

Pemberian hibah itu bukan pemberian liar. Ia melalui SOP panjang dan berlapis, sebagaimana tercantum dalam SOP Pengelolaan Dana Hibah. Ada proposal, verifikasi, evaluasi oleh TAPD, persetujuan APBD oleh DPRD, penandatanganan NPHD, penyaluran melalui rekening bank resmi, dan pelaporan pertanggungjawaban tertulis dengan bukti-bukti sah.

Artinya, dana itu legal, mekanismenya resmi, dan prosesnya terbuka. Maka pertanyaannya: mengapa pelaksana kebijakan ditahan seolah mereka penjahat?

Pelaksana, Bukan Pengambil Keputusan

Baik Kaligis maupun Korengkeng bukan pemilik kuasa atas anggaran. Mereka bukan penyusun tunggal, apalagi pemegang dompet dana hibah. Mereka adalah pelaksana teknis dari kebijakan pemerintah daerah yang sudah disetujui banyak pihak—mulai dari TAPD hingga DPRD.

Kalau ada kekurangan dalam pelaporan atau prosedur teknis, benarkah itu layak dipidana? Ataukah cukup diselesaikan dalam ranah administratif?

UU Tipikor Pasal 2 dan 3 memang menyasar penyalahgunaan wewenang. Tapi syaratnya jelas: ada niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Tanpa niat jahat, tanpa keuntungan pribadi, apakah pantas orang-orang ini dijebloskan ke tahanan?

Korban dari Sistem yang Rumit?

Prosedur birokrasi memang tak selalu rapi. Tapi seharusnya kekusutan administrasi diperbaiki lewat evaluasi dan reformasi, bukan lewat pembungkaman dan kriminalisasi. Jika tidak, maka siapa pun yang bekerja dalam sistem, bisa jadi korban sewaktu-waktu.

Ini bukan hanya tentang Kaligis dan Korengkeng. Ini tentang setiap ASN yang jujur bekerja, lalu suatu hari dipanggil dan dituduh karena menandatangani surat yang dulunya disahkan secara sah.

Ketika Lembaga Agama Diseret, Ketegangan Sosial Mungkin Timbul

Lebih dari itu, terseretnya nama Sinode GMIM dalam perkara ini bukan hanya isu hukum, tapi isu hati masyarakat Minahasa. GMIM bukan sekadar lembaga gereja. Ia adalah ruh dari pendidikan, pelayanan, dan moralitas sosial di Sulawesi Utara. Menyentuhnya dengan sembrono bisa menimbulkan keresahan umat.

Hukum Tanpa Nurani Akan Buta

Penegakan hukum memang wajib. Tapi hukum bukan pedang liar. Ia harus diarahkan dengan cahaya nurani. Tanpa empati, hukum akan menjadi instrumen kekuasaan. Tanpa kehati-hatian, hukum akan menghukum orang yang salah hanya karena sistem tidak mampu melindunginya.

Lalu siapa yang bertanggung jawab jika yang ditahan ternyata hanyalah roda kecil dari mesin besar yang bernama “kebijakan”?

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Audit sistem, bukan buru-buru menahan orang.

Evaluasi alur birokrasi dana hibah dan perkuat kontrol agar tidak menyandera pelaksana.

2. Pisahkan kesalahan administratif dari kejahatan korupsi.

Bukan semua kekurangan teknis layak dihukum pidana.

3. Lindungi pelaksana yang taat prosedur.

Jangan biarkan mereka menjadi kambing hitam.

4. Bangun komunikasi publik yang berimbang.

Hentikan penghakiman media sebelum pengadilan bicara.

Sebuah Renungan

Malam itu, di depan pintu ruang tahanan, saat semua mata menyorotinya, Jeffry Korengkeng hanya berkata: “Semangat.” Kata yang biasa, tapi diucapkan dalam momen luar biasa. Kata yang mengandung harapan, bahwa keadilan belum mati.

Karena dalam hati yang terdalam, kita semua tahu: menjalankan kebijakan yang sah bukanlah kejahatan. Dan jika hukum tidak mampu membedakan itu, maka kita bukan sedang menegakkan keadilan—kita sedang merusaknya.

“Negara hukum sejati bukan yang hanya mempidanakan pelaku, tapi yang juga mampu melindungi mereka yang bekerja jujur di tengah sistem yang rumit.”

(Redaksi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *